Terdapat relasi yang kuat antara korupsi, pembangunan berkelanjutan, proses demokrasi, dan penegakan hukum. Lebih jauh lagi, korupsi menjadi salah satu penyebab utama proses pemiskinan yang menyebabkan kemiskinan kian absolut, pelayanan publik yang tidak optimal, infrastruktur yang tidak memadai, high-cost economy, dan terjadinya eksploitasi sumber daya yang tidak menimbulkan manfaat bagi kemaslahatan publik. Pada konteks inilah justifikasi pentingnya kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi memperoleh dasar legitimasinya.
Legitimasi dimaksud potensial mengalami proses dekonstruksi, karena pemberantasan korupsi disalahpersepsikan dan bahkan disalahartikan. Pemberantasan korupsi diberitakan dan hanya dilihat dalam perspektif “kekerasan dan kegarahan”. Wajah pemberantasan korupsi diberitakan dari sisi dramatiknya, ditonjolkan kehebohannya, dan upaya paksa yang digunakan yang mendapatkan kesan arogansi dan “perlawanan” pihak yang diduga pelaku juga dieksploitasi. Fakta ini tidak hendak menegasikan, ada indikasi yang cukup kuat, beberapa pihak memang tidak sepenuhnya menunjukkan komitmen yang kuat dan political action yang tegas untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat dan dilakukan dalam perspektif yang optimis dengan strategi yang lebih sistemik dan pendekatan yang konsolidatif dengan mengintegrasikan semua sumber daya dan modal sosial yang ada secara paripurna. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan sinergi antar instansi/lembaga dalam upaya memberantas korupsi.
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa latin yaitu Corruptus dan Corruption, artinya buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah. Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK, Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenarankebenaran lainnya “sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenarankebenaran lainnya.
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi yaitu:
Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk Undang-Undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.
Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.
Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.
Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada Undang-Undang pemberantasan korupsi.
Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:
Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili orang lain.
Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Melawan hukum baik formil maupun materil.
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sebab-sebab Korupsi
C. Sebab-sebab terjadinya korupsi diantaranya adalah:
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri di banding dengan kebutuhan seharihari yang semakin lama semakin meningkat,
Ketidakberesan manajemen,
Modernisasi
Emosi mental,
Gabungan beberapa faktor.
Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor faktor berikut:
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika,
Kolonialisme,
Kurangnya pendidikan,
Kemiskinan,
Tiadanya hukuman yang keras,
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
Struktur pemerintahan,
Perubahan radikal, dan
Keadaan masyarakat.
Pendidikan antikorupsi sejak dini adalah salah satu cara untuk memberantas korupsi. Dengan pendidikan antikorupsi sejak dini, dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tindakan-tindakan korupsi sehingga masyarakat dapat ikut andil dalam memberantasnya. Dengan pendidikan antikorupsi pula dapat meningkatkan pengetahuan mengenai dampak/akibat korupsi sehingga dapat menghindarinya bahkan ikut serta dalam melawannya.